Keraton Pontianak Kalimantan Barat |
hem..mungkin ini hanyalah sejarah basi kalau saja pengunjung yang membacanya
adalah orang – orang tua pada jaman itu hehehehehehe,,tapi mungkin juga
sebaliknya jika yang membacanya adalah orang – orang diluar Kal-Bar atau masih
baru menginjak usia remaja khususnya di dalam Kal-Bar atau juga yang selama
hidupnya sama sekali tidak pernah tau sejarah terjadinya Kota Pontianak.
Ya langsung pada pokoknya ajah ni,tidak usah berleha-leha lagi kwkwkwkwkwkwkwkw..
Ya langsung pada pokoknya ajah ni,tidak usah berleha-leha lagi kwkwkwkwkwkwkwkw..
Terjadinya Kota Pontianak yang kalau dirujuk
kembali pada awal mulanya menurut info sejarah yang saya dapati itu ialah
dimulanya pada empat orang pemuda penduduk asal Trim Hadralmaut, tepatnya itu
di Negri Arab nun jauh disana. Masing – masing dari mereka bernama Ma Al Habib
Husin yang merupakan ayah dari Sultan Syarif Abdurachman yang pada saat itu
masih berusia 18 tahun dan beserta rekan – rekannya yang antara lain bernama Al
Syayid Abubakar Idrus, Al Syayid Umar Husain Alsegaf dan Al Syayid Mochamad
Quraisy yang sudah sama – sama bersepakat memenuhi anjuran guru pengajiannya
untuk pergi merantau keluar negri Arab guna mensyi’arkan agama Islam dengan
bertujuan ke daerah bagian timur dimana disana terdapat negri – negri yang
subur, tanah yang banyak ditumbuhi pepohonan – pepohonan yang menghijau.
Setelah keluarnya ke empat pemuda asal Trim Hadralmaut
tersebut dari Arab , maka Negri yang
pertama kali disinggahinya ialah Trengganu, Malaysia. Di sana ke empat pemuda
tersebut berpisah – pisah dengan tujaunnya masing – masing, Al Syayid Umar
Husain Alsegaf masuk ke Siak, Malaysia dengan mengajarkan Agama Islam, Al
Syayid Mochamad Bin Achmad Quraisy memilih untuk menetap di Trengganu, Malaysia
guna mengajar Syariat Islam.
Sedangkan untuk kedua pemuda lainnya Al Syayid Abubakar
Idrus dan Ma Al Habib Husin bertolak menuju Aceh, Indonesia. Di Aceh itu mereka
mengajar Hukum Syara’ Islam dan Syiar Agama Islam.
TidaK berapa lama lalu mereka berpisah lagi disana, Al
Syayid Abubakar Idrus memilih menetap disana dan sedangkan Al Habib Husin
melanjudkan tujuannya terus kearah timur dan menuju ke daerah Betawi, Indonesia
selama 7 bulan lamanya, lalu terus ke Semarang, Indonesia hingga disana Beliau
bertemu dengan seseorang bernama Syekh Salim Hambal dan tinggal bersamanya
disana selama kurang lebih 2 tahun lamanya.
Setelah 2 tahun tinggal bersama Syekh Salim Hambal di
Semarang, Al Habib Husin bermaksud keluar melanjudkan kembali perjalanannya
terus kearah Timur memenuhi petunjuk gurunya tadi dimana pada daerah yang
banyak tumbuhnya pohon – pohon kayu hijau, maka disanalah beliau akan menetap
dan mengajarkan Syari’at Islam disana. Sebelum Al Habib Husin meninggalkan
Semarang, beliau dianjurkan Syekh Salim Hambal untuk sebaiknya menuju ke Negri Matan
Kalimantan Barat, karna Negri Matan itupun letaknya disebelah timur dan tanahnya
juga cukup terbilang subur sesuai seperti yang dimaksudkan guru pengajian Al
Habib Husin tersebut.
Maka tanpa sungkan – sungkan lagi beliaupun langsung
menuju ke Negri Matan bersama – sama Syekh Salim Hambal sesuai anjurannya tadi.
Sesampainya disana, beliau bertemu dengan orang yang
bernama Syayid Hasyim Bin Yahya, beliau dikenal sebagai ornag yang pemberani
dan jika beliau berjalan senantiasa membawa tongkat besi yang beratnya kira –
kira 8 kati. Ciri khas dari pada Syayid Hasyim juga dikenal sebagai rakyat
Matan sebagai “Tuan Janggut Merah”, dikarnakan beliau senang memelihara
janggutnya dengan memberi pacar (warna/pirang) sehingga janggutnya berwarna
merah dan juga dikenal sebagai orang yang cukup fanatik.
Keraton Kerajaan Matan |
Setelah semua para undangan kerajaan dating berrkumpul
dan duduk bersama Majelis di Istana Kerajaan Matan, maka dengan lazimnya sebuah
undangan kerajaan diangkatlah tempat sirih sebagai adat istiadat kerajaan.
Pada tempat sirih beserta perlengkapannya juga terdapat
Kacip berbentuk kepala burung guna untuk membelah pinang pada waktu itu. Syayid
Hasyim setelah melihat Kacip tersebut sebagai seorang yang fanatisme, ia
seketika mengambilnya lalu dipatah – patahkannya Kacip tersebut dengan
tangannya sendiri. Melihat perbuatan Syayid Hasyim (Tuan Janggut Merah) tadi,
Raja berserta Majelis undangan dan Al Habib Husin pun kelihatan bermuram
wajahnya. Lalu tanpa diduga – duga para Majelis, Al Habib Husin membuat sekapur
sirih dari tempat kapur tersebut sambil berdo’a dan mengambil Kacip yang sudah
terpatah- patah tadi kemudian diusap – usapkannya dengan sirih tersebut hingga dengan Rahmad Allah
Ta’ala sekejap Kacip itupun kembali utuh seperti semula.
Tampilan Dari Beberapa Sudut Kerajaan Matan |
Kemudian atas kesepakatan Raja Matan beserta Para Mentri,
kemudian Raja Matan menyerahkan jabatan Mufti Peradilan Agama pada Al Habib
Husin sekalian mengajarkan dan menyebarkan Syari’at Agama Islam di Negri Matan.
Pada masa kedudukannya memangku jabatan Mufti peradilan
agama, Al Habib Husin diakui memang benar – benar adil dan jujur sesuai dengan
ajaran Agama Islam, maka oleh karna itu Raja oun beserta rakyat Matan merasa
sangat menghormati dan segan kepada Al Habib Husin .
Tidak lama kemudian Al Habib Husin dikawinkan oleh Raja
Matan kepada putrinya yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu beliau
dikaruniai anak perempuan yang pertama bernama Syarifah Khatdijah, anak kedua
laki –laki bernama Syarif Abdurrachman, ketiga bernama Syarifah Aluyah, dan
yang ke empat laki – laki bernama Syarif Alwi.
Menurut cerita Al Habib Husin di Negri Matan telah tiga
kali menikah, tatapi tidak pernah dimanui istri – istrinya melainkan perkawinan
itu dikenal sebagai istilah “Ganti Tikar”. Dari istri yang ke dua dan ke tiga, beliau
dikaruniai 6 orang anak. Selama dalam memangku sebagai jabatan Mufti Peradilan
Agama di Kerajaan Matan, namanya terus tersebar luas hingga kesetiap kerajaan –
kerajaan lain, sehingga sampailah pada saatnya tiba suruhan dari Raja Mempawah
Kalimantan Barat
Sultan Mpu Daeng Menambon untuk meminta Al Habib Husin
agar mau berpindah ke Mempawah mengajarkan Syari’at Islam disana.
Namun permintaan tersebut belum dapat diterima Al Habib
Husin karna alasan ia masih bertanggung jawab di Kerajaan Matan dan juga merasa
dirinya sangat dikasihi disana. Tetapi pada suatu waktu datanglah sebuah perahu
lancang dari Siantan berlabuh ke Negri Matan dengan nakhodanya yang bernama
Achmad untuk berdagang disana.
Kedatanggan Achmad disana namun telah didapati perlakuan
yang tidak terpuji terhadap seorang wanita dengan menodainya, hingga marahlah
Raja Matan tersebut kepadanya, dan oleh perbuatan Nakhoda Achmad Raja Matan
ingin menjatuhkan hukuman pancung mati terhadapnya, namun mengingat bahwa Sang
Raja Matan telah menyerahkan tanggung jawab Mufti Peradilan Agama kepada Al
Habib Husin, perkara Nakhoda Achmad pun diserahkannya kepada Al Habib Husin.
Oleh Al Habib Husin ia memutuskan hukuman untuk Nakhoda
Achmad bukanlah hukuman Pancung Mati melainkan hanyalah denda dengan membayar
sejumlah uang yang telah ditentukan guna diserahkan kepada Raja Matan dan
Nakhoda Achmad juga disuruh bertobat serta memohon ampun kepada Raja Matan, yakni
sebagai hokum Ta’zir.
Keputusan Al Habib Husin diterima oleh Raja Matan meski
pun itu sangatlah bertentangan dengan keinginannya untuk menjatuhkan hukauman
pancung mati ke pada Nakhoda Achmad. Setelah Nakhoda Achmad melakukan semua
perintah yang diberikan Al Habib Husin, ia pun memohon izin untuk kembali ke
Negri Siantan. Namun sungguh disayangkan, tanpa sepengetahuan Al Habib Husin,
Raja Matan ternyata memerintahkan dua orang nakhoda dengan dua buah kapal
perahunya beserta dengan laskar – laskarnya untuk mengikuti dan melaksanakan
niatnya menyerang perahu Nakhoda Achmad hingga disebuah Muara Kayang Matan ia
pun tewas terbunuh.
Kejadian tersebut namun justru diketahui oleh Al Habib
Husin dan hal itu telah membuatnya kecewa, hingga pada saat itu Al Habib Husin
memutuskan untuk menulis surat ke pada Kerajaan Mempawah yang dipegang Sultan
Mpu Daeng Menambon dengan maksud menerima permintaan Sutan Kerajaan Mempawah
yang sempat tertunda untuk meminta Al Habib Husin hijrah kemempawah guna mengajarkan Syari’at Islam disana. Dalam
surat yang tertulis itu, Al Habib Husin mengajukan permintaan agar dibuatkan
untuknya sebuah rumah dan Surau yang terletak di Kuala Mempawah dipenghabisan
pepohonan Nipah.
Setelah Raja Mpu Daeng Menambon menerima surat dan
beserta maklum akan isinya untuk memenuhi permintaan Al Habib Husin tentan
pembuatan rumah dan Surau (Langgar), maka Raja Mpu Daeng Menambon pun turun
sendiri beserta iringan anak cucu dan mentri – mentri Kerajaan Mempawah untuk
mencari lokasi yang telah dihajatkan Al Habib Husin dalam suratnya, dan
ditemukanlah suatu tempat tersebut yang dimana terdapatnya penghabisan Pohon
Nipah, dan oleh tempat itu diberilah nama “Galah Hirang” dengan serta merta
pembangunan rumah dan surau yang telah selesai. Maka Oleh Raja Mpu Daeng
Menambon segera menyuru kedua perahu besar dari Mempawah Kalimantan Barat ke
Negri Matan untuk menjemput Al Habib Husin.
Keraton Mempawah |
Menurut cerita Al Habib Husin melakukan perpindahannya
setelah kurang lebih 17 tahun lamanya ia tinggal di Negri Matan dan Hijrah ke
Negri Mempawah, yang pada saat itu Sutan Pertama kita di Pontianak yaitu Syarif
Abdurachman belumlah sampai pada usia dewasanya, dalam sejarah tertulis Syarif
Abdurachman lahir pada tahun 1742 H.
Setelah Sultan Syarif Abdurachman berusia 18 belas tahun,
Ayahnya Al Habib Husin bermaksud meminangkannya dengan anak Sultan Mpu Daeng
Menambon yang bernama Utin Tjandramidi. Didalam cukilan cerita tentang pinangan
Al Habib Husin kepada Putri Raja Mempawah, Utin Tjandramidi merasakan enggan
menerima pinangan Al Habib Husin atas dirinya, namun Raja Mempawah Sultan Daeng
Menambon selaku ayah dari Putri Djandramidi merasa segan untuk menolaknya
mengingat hal bahwa Al Habib Husin adalah seorang guru Agama Islam yang sangat
dihormati keberadaanya, ia akhirnya dengan kebijakannya Sultan Mpu Daeng
Menambon mencoba mencari alasan dengan mengajukan persyaratan berupa Maharnya
sebanyak 1000 pahar (tempat hidangan makan).
Diluar dugaan Sultan Mpu Daeng Menambon atas permintaan
Mahar 1000 Pahar yang diajukannya itu, ternyata dapat dipenuhi oleh Al Habib
Husin kepadanya, hingga terkejutlah Sultan Daeng Menambon atas terpenuhinya
persyaratan yang diajukannya tadi.
Karna itu merupakan sebuh janji kepada Al Habib Husin
maka wajiblah bagi Sultan Daeng Menambon memenuhinya karna barang yang telah
dipinta sebagai syaratnya telah terpernuhi dan oleh karna itu pinangan Al Habib
Husin pun diterima Raja Mempawah Sultan Mpu Daeng Menambon dan Syarif
Abdurachman pun dinikahkan pada Putri Utin Tjandramidi.
Selama kediaman Al Habib Husin di Mempawah, Putranya
Syarif Abdurachman selalu melakukan perjalanannya dengan merantau kesetiap –
tiap daerah bagian Indonesia yaitu Pulau Tamblan, Pulau Siantan, Palembang dan
Banjar.
Di Banjar Syarif Abdurachman menikah lagi dengan Putri
Sultan Saat yang bernama Ratu Syah Ranun dan oleh Sultan Saat Di Negri Banjar,
Syarif Abdurachman diangkat menjadi Pangeran Syarif Abdurachman Nur Alam.
Setelah kepergiannya di Banjar selama 2 tahun, Syarif Abdurachman kembali lagi
ke Negri Mempawah, kemudian berangkat lagi ke Banjar selama 4 tahun lamanya baru pulang ke
Mempawah, dan setibanya di Mempawah Syarif Abdurachman mendapati ayah andanya
Al Habib Husin telah Wafat pada Hijrah Sunnah 1184 tahun WAW tiga hari Julhijah
pukul dua Arba’a dengan pemakamannya di Mempawah Kampung Galahirang.
Tidak lama itu tiga
bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah,
Syarif Abdurachman beserta saudar – saudarnya bermusyawarah, antara lain ialah
saudaranya yang bernama Syarif Alwi,
Syarif Abubakar dan Syarif Hamid Ba’bud, yang bertujuan untuk keluar dari Negri
Mempawah dalam mencar tempat kediaman yang baru.
setelah permufakatan disetujui, maka berangkatlah Syarif Abdurachman beserta Saudara dan para rombongan pengikutnya dengan mengunakan 14 perahu yang bernama “KAKAP” menyelusuri sebuah sungai yang didalam cerita itu sungai yang pertama kali diselusurinya ialah Sungai Peniti Kalimantan Barat.
Pada waktu Zohor tiba, sampilah rombongan Syarif Abdurrachman tersebut pada suatu Tanjung mereka melaksanakan Ibadah Sholat Zohor dan melakukan penginapan semalam, yang pada tempat itu sekarang di kenal masyarat dengan sebutan Kelapa Tinggi Segedong. Syarif Abdurrachman dalam penginapannya semalam di Segedong, ia mendapati alamat pertanda yang tidak baik, bahwa katanya tempat itu tidaklah baik untuk dijadikan tempat tinggal. Maka rombongan memutuskan melanjutkan perjalanannya keluar menyusuri Sungai Peniti mudik kehulu.
setelah permufakatan disetujui, maka berangkatlah Syarif Abdurachman beserta Saudara dan para rombongan pengikutnya dengan mengunakan 14 perahu yang bernama “KAKAP” menyelusuri sebuah sungai yang didalam cerita itu sungai yang pertama kali diselusurinya ialah Sungai Peniti Kalimantan Barat.
Pada waktu Zohor tiba, sampilah rombongan Syarif Abdurrachman tersebut pada suatu Tanjung mereka melaksanakan Ibadah Sholat Zohor dan melakukan penginapan semalam, yang pada tempat itu sekarang di kenal masyarat dengan sebutan Kelapa Tinggi Segedong. Syarif Abdurrachman dalam penginapannya semalam di Segedong, ia mendapati alamat pertanda yang tidak baik, bahwa katanya tempat itu tidaklah baik untuk dijadikan tempat tinggal. Maka rombongan memutuskan melanjutkan perjalanannya keluar menyusuri Sungai Peniti mudik kehulu.
Menurut cerita dimana sebuah tanjung tempat Syarif Abdurrachman beserta rombongan
itu melaksanakan Ibadah Sholat Zohor, tanjung itu kenal dengan “Tanjung
Dhohor”.
Dalam perjalanan menyelusuri Sungai besar (Sui Kapuas Kal-Bar) menuju kehulu Syarif Abdurachman menemukan sebuah pulau dimana pula itu sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Pulau “Batu Layang” dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrachman beserta keturunannya dimakamkan.
Sampai pada pulau tersebut Syarif
Abdurrachman beserta rombongan mulai mendapatkan ganguan dari
hantu yang disebut – sebut dengan Hantu Pontianak, dengan kejadian tersebut Syarif Abdurrachman memerintah para pengikutnya agar
menembak/memerangi Hantu tersebut dengan 7 Meriam yang terbuat dari batu hingga
pergilah Hantu – hantu Pontianak itu, jatuhnya peluru meriam yang melewati tiga
Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil
dan Sungai Landak yakni tempat itu dikenal masyarakat dengan nama Kampung
Beting Kalimantan Barat.
Selanjudnya rombongan Syarif
Abdurrachman pun melanjudkan perjalanan dengan menyusuri Sungai Kapuas pada subuh
hari 14 Rajab 1185 Hijriah atau pada tanggal 23 Oktober 1771 mereka
sampai pada sebuah simpang tiga (Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan
Sungai Landak) dimana tempat itu yang menjadi tanda jatuhnya peluru Meriam yang
ditembakan rombongan tersebut guna mengusir Hantu Pontianak.
Inilah yang disebut Batu Layang |
Setelah pukul 5 pagi, Syarif Abdurrachman dan rombongan naik kedaratan untuk menebas/membuka lahan baru guna mendirikan tempat kediamannya dan tempat itulah yang diberinama Pontianak, yang berhasil ditebas/dibuka selama 8 hari.
Hutan itulah yang dewasa
ini sebagai tempat berdirinya Istana Keraton Sultan Pontianak dan Majid Jami’
Pontianak Kalimantan Barat.
Keraton Pontianak |
Latar belakang dan sejarah mengapa Syarif Abdurrachman Nur Syah Alam memutuskan membuat tempat di persimpangan sungai Landak dan Kapuas Besar/Kecil tidaklah lain dikarnakan Beliau meyakini tempat tersebut akan dapat menjadi sebuah perkembangan Kota Perdagangan dan Pelabuhan, dengan usaha Syarif Abdurrachman serta dengan kebijakannya beliau membangun Negri Pontianak ini hingga banyaklah pendatang – pendatang yang berkunjung, bukan hanya dari perhuluan melainkan dari Kerajaan – kerajaanlain dari seluruh Nusantara yang sekarang kita khususnya masyarakat Pontianak yang telah menempati lahan yang sebelumnya hutan namun kini menjadi kota (Kota Pontianak) berkat keberhasilan Syarif Abdurrachman yang mengaturnya dari awal hingga kini dapat kita nikmati bersama – sama.
Masjid Jami' Pontianak |
Selanjutnya 2 tahun kemudian
setelah Sultan Syarif Abdurrachman Ibnu
Al Habib Husin Al Kadrie dinobatkan menjadi Kerajaan Pontianak, maka
pada Hijrah sanah 1194 bersamaan tahun 1773, masuklah dominasi kolonialis
Belanda dari Batavia (Betawi) utusannya Peter (Assisten Residen) dari Rembang
bernama Willem Ardinpola, dan mulai pada masa itu bangsa Belanda berada di Pontianak, Bangsa Belanda itu bertempat di seberang
Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama Tanah Seribu (Verkendepaal).
Yang selanjudnya terus berkembang
hingga pada tanggal 5 Juli 1779, 0.1. Compagnie Belanda membuat
perjanjian (Politiek Contract) dengan Sultan Pontianak tentang penduduk Tanah
Seribu (Verkendepaal) untuk dijadikan tempat kegiatan bangsa Belanda, dan
seterusnya menjadi tempat/kedudukan Pemerintah Resident het Hoofd
Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo lstana Kadariah
Barat), dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asistent
Resident Kepala Daerah Kabupaten Pontianak) dan selanjutnya Controleur het
Hoofd Onderaffleeling van Pontianak/ Hoofd Plaatselijk Bestur Van Pontianak
(bersamaan dengan Kepatihan) membawahi Demang Het Hoofd Der Distrik Van Pontianak
(Wedana) Asistent Demang Het Hoofd Der Onderdistrik Van Siantan (Ass. Wedana/
Camat) dan wafatnya Sultan Syarif Abdurrachman Ibnu Al Habib Husin Al Kadrie pada
tanggal 28 Februari 1808.
Berikut adalah daftar urutan Sultan
yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat:
1. Syarif Abdurrachman Al Kadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Al Kadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Al Kadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Al Kadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Al Kadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Al Kadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Al Kadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Al Kadrie memerintah dari tahun 1945-1950.
1. Syarif Abdurrachman Al Kadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Al Kadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Al Kadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Al Kadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Al Kadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Al Kadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Al Kadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Al Kadrie memerintah dari tahun 1945-1950.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar